Setelah segala sarana dalam upacara tersedia, maka pemimpin upacara (dukun bayi) membimbing anak yang diselamati untuk menginjak-injak tujuh macam jadah (nasi ketan yang telah dilumatkan). Jadah ini terdiri dari tujuh macam warna, yaitu merah, putih, biru, hitam, kuning, ungu, dan merah jambu kemudian anak tersebut dibimbing untuk menaiki tangga kecil yang dibuat dari pohon tebu, yang mempunyai anak tangga tujuh buah. Sesudah itu si anak dimasukkan ke dalam kurungan yang dialasi tikar dan di dalamnya telah disediakan padi, kapas, alat-alat tulis, serta wadah atau bokor yang berisi beras kuning dan uang logam.
Di dalam kurungan itu si anak disuruh meme¬gang (memilih) salah satu barang-barang yang disediakan di dalam kurungan. Pada saat itu hadirin yang mengikuti jalannya upacara memperhatikan benda apa yang dipegang oleh anak itu, karena menurut kepercayaan benda yang dipegang anak itu melambangkan mata pencahariannya (nasib) si anak tersebut dikelak kemudian hari. Misalnya saja bila si anak mengambil alat-alat tulis, maka menurut kepercayaan anak ter¬sebut kelak akan menjadi anak yang cerdas. Tetapi apabila ia mengambil padi, atau kapas, si anak tersebut kelak akan men¬jadi petani yang berhasil. Ada kalanya di dalam kurungan itu juga diletakkan seekor ayam jantan (jago). Ayam itu tidak boleh disembelih tetapi harus dipelihara, kemudian uang dan beras kuning yang ditaruh di wadah atau bokor ditaburkan (dalam bahasa jawa “disawurake”) dan diperebutkan oleh anak-anak kecil yang mengikuti upacara itu. Setelah itu anak dikeluarkan dari sangkar, kemudian dimandikan di dalam bak yang telah diisi air kembang setaman. Selanjutnya si anak diberi pakaian serba baru dan perhiasan. Upacara selanjutnya ialah “kenduri” yang dipimpin oleh tukang kajat (yang punya hajat). Dengan adanya “kenduri” itu berakhirlah upacara tedhak siten dan sejak itu si anak sudah diperbolehkan bermain-main di tanah.


Leave a Reply